Kamis, 12 November 2009

Kepalaku dan Bola Matanya

Kamar mandi, 15.35

Tes. Tes. Tes. Suara konstan air yang menetes dari keran rusak itu mengganggu sekali. Sudah berapa bulan keran itu lupa dibetulkan. Fasilitas di kantor ini tampak terbengkalai. Seperti perasaanku sekarang. Yang lebih mengganguku lagi adalah aku tidak bisa menyalahkan siapapun. Siapa suruh berdiam diri lama di kamar mandi? Duduk jongkok di lantai dan menghisap rokok. Tapi ini satu-satunya ruang pelarianku di sini. Sebuah ruangan berukuran satu setengah kali dua yang dipagari dinding warna kuning kusam dengan Poster Pulp Fiction yang gagal membuat ruangan ini tampak lebih menyenangkan. Tapi memang bukan itu tujuannya aku rasa. Cuma pemilihan dekorasi tipikal sebuah Production House saja. Mendadak aku teringat anjingku di rumah yang aku beri nama Uma. Aku merindukannya.

Aku menghisap rokokku dalam-dalam sembari menengadahkan kepala dan menatap langit-langit kamar mandi. Tiba-tiba aku terkejut melihat sebagian isi kepalaku di atas sana. Aku langsung berdiri dan melihat dinding sekeliling kamar mandi ini sudah dipenuhi oleh muntahan isi kepalaku. Termasuk poster Pulp Fiction itu.

Sial. Ini bukan pertama kalinya kepalaku meledak. Tapi herannya aku tidak pernah menyadari setiap kali itu terjadi. Dulu kepalaku pernah meledak di ruang rapat juga. Muntahannya bermuncratan dimana-mana. Tapi tidak ada seorangpun yang terganggu ketika isi kepalaku menghantam meja dan kertas-kertas yang berserakan di sana. Bahkan ketika sebagian yang lainnya menghantam muka mereka. Tidak ada seorangpun yang berkomentar. Seolah-olah tidak ada kepala yang baru saja meledak. Bau busuk dari isi kepalaku menusuk hidung, tapi ketidakpekaan orang-orang di ruang rapat itu yang membuat aku lebih muak lagi.

Kini kejadian yang sama terjadi lagi. Aku mematut diri depan kaca sebentar. Aku merapihkan sisa rambut yang masih ada di kepalaku. Aku harus menyelesaikan hari ini dengan sebuah kepala bocor lagi.

*

Ruang Kepala Perusahaan, 15.35

Aku lelah dan bosan. Aku mengepalai sebuah perusahaan yang berarti aku bertanggung jawab atas sekian banyak karyawan. Hidup mereka bergantung padaku sementara hidupku adalah tanggungjawabku sendiri. Aku muak bekerja dan terperangkap di ruangan ini. Padahal kubik ini sudah aku dekorasi sesuai dengan tigkat kenyaman yang aku butuhkan namun sepertinya pikirankulah yang lebih perlu ditata.

Masalah setiap hari seperti tidak ada habisnya. Entah apakah kerja keras ini sepadan dengan penghasilan perusahaan ini setiap bulannya. Aku sudah seharian mondar-mandir rapat kesana kemari. Tapi tidak ada seorangpun yang menyadari, bahwa bola mataku copot tadi pagi. Ketika aku menutup telpon dari seorang klien yang mengatakan bahwa ia akan membatalkan produksi apabila harga yang kuajukan dulu, tidak aku turunkan. Padahal produksi ini sudah seperempat jalan. Padahal waktu tadi pagi baru menunjukan pukul delapan. Sungguh tidak manusiawi, melancarkan sebuah ancaman ketika waktu masih terlalu pagi. Aku membanting telpon dan mataku copot. Bola mataku mental ke tembok. Sekarang sudah enam jam aku di kantor ini dan belum ada satupun karyawanku yang menyadari. Padahal mereka bolak-balik keluar masuk ruanganku untuk menyampaikan pesan dan meminta tandatanganku. Tapi mereka tidak memperhatikan bahwa hari itu aku tanpa mata. Mereka tidak melihat kedua bola mataku tertancap di tembok seberang sana. Tidak ada yang peka.

Jakarta, 2004

5 komentar:

  1. suka dengan kepala pecah, besar dan berantakan tapi yang bola mata jadi ketutup dengan kepala pecah

    BalasHapus
  2. Ah, tapi visualisasinya tentu lebih pecah kalo liat bola mata mental :)

    BalasHapus
  3. ruangan kuning dengan poster pulp fiction, sekarang hanya tinggal kenangan :,(

    BalasHapus
  4. Iya Oyen... Paling tidak, kenangannya hidup dalam sebuah cerita pendek ya :)

    BalasHapus
  5. gambaran orang depresi, ya serasa hidup dalam cerita ini..

    BalasHapus