Kamis, 12 November 2009

Fakta Fiksi Lila


Kita bertemu lagi secara tidak sengaja. Mungkin kebetulan. Tapi aku lebih suka menyebutnya sebagai keberuntungan. Karena kebetulan tidak pernah bisa diandalkan sementara keberuntungan, selalu bisa kamu temui di ujung jalan. 

Percaya akan itu selalu membuatku berdebar-debar, berharap setiap kali bahwa kamu akan ada di ujung sana. Seperti hari ini ketika aku menyambutmu dengan sebuah senyuman, karena keberuntungan kita akhirnya datang juga.

Aku sedang berada di mall pada jam makan siang. Sendirian karena aku perlu sekalian berbelanja sebelum mengisi perut. Saat itulah kita berjumpa. Lila. Kamu menyebut namaku. Dan seperti pertemuan-pertemuan kita sebelumnya, sapaan basa-basi kita lakukan untuk melumerkan kecanggungan, sampai akhirnya kamu memutuskan untuk mengajakku makan siang dan bertukar cerita karena sudah terlalu lama sejak terakhir kali keberuntungan mempertemukan kita. Aku setuju tanpa merasa khawatir, karena aku hapal betul bagaimana pertemuan-pertemuan kita biasanya berakhir. Namun keberuntungan hari itu berjalan di luar dugaanku, karena usai kita makan siang, kamu bilang bahwa kamu rindu. Membuat otot di sekujur tubuhku berteriak karena sudah terlalu lama menunggu pernyataan itu.

Aku terdiam karena kamu tahu, tidak ada yang bisa aku lakukan. Aku sudah memiliki pasangan hidup dan kamu sudah kehilangan kesempatan. Tapi kerinduan yang sudah menumpuk, membuatmu akhirnya bicara. Bahwa kita tidak akan pernah tahu apakah yang kita rasakan ini adalah cinta.

Saat itu kamu minta aku ikut denganmu dan bermalam bersama. Untuk akhirnya bisa berpelukan di ranjangmu dan bercinta, kemudian lelap hingga kita bisa bangun keesokan harinya bersama-sama. Untuk mengakhiri rasa ingin tahu dan mengetahui apakah ini cinta atau sekedar napsu.

Aku terdiam karena tiga buah alasan yang menakutkan. Pertama marah. Karena kamu memutuskan untuk mengatakan ini setelah aku menikah. Kedua karena suamiku yang tidak pernah tahu keberadaanmu dan ketiga karena aku menginginkannya sebesar kamu juga. Sulit dipercaya, tapi kita berdua tidak pernah tahu apa kelanjutan pembicaraan itu. Karena satu-satunya hal yang kuingat kemudian adalah terbangun di ranjangku sendiri, di samping suamiku.

*

Hari-hariku berjalan seperti sudah terjadwal. Rutinitas kadang membuatku lupa akan penantianku dan memiliki pasangan hidup, kini telah membenamkan harapanku itu. Sampai tadi malam, ketika keberuntungan menjumpaiku dalam mimpi, yang membuatku merasa bersalah setengah mati.

Tapi hari itu tidak sama dengan hari-hari kemarin. Hari itu aku bangun lebih pagi dari biasanya. Membuatku bertanya-tanya akan kelanjutan mimpiku jika saja aku tidak terbangun lebih pagi hari itu. Di penghujung hari, kejadian bangun lebih pagi itu membuatku mengerti mengapa dalam film atau kebanyakan cerita fiksi, kejadian-kejadian yang punya dampak besar biasanya diawali dengan sesuatu di luar kebiasaan kita.

Karena pagi itu aku merasa lebih santai, aku memutuskan untuk membuat kopi untuk kubawa pergi dan menyeruputnya sembari mencari taksi. Saat itulah aku melihat seorang perempuan sedang berdiri termenung di seberang jalan. Seperti sedang banyak pikiran, perempuan itu mengacuhkan mobil-mobil yang lalu-lalang. Setelah beberapa kali celingukan kiri kanan, aku melihat sebuah taksi biru dengan lampu menyala di atasnya. Segera kulambaikan tangan sambil melirik ke arah perempuan tadi yang sampai saat itu masih termenung dan melamun. Berhubung aku tidak perlu terburu-buru, segera saja kupanggil dia dan aku persilahkan untuk naik duluan. Mendadak dia tersenyum dan langsung berlari. Saat taksi itu pergi melaju, aku melihat dia menoleh ke kaca belakang dan melambaikan tangan. Mungkin sebagai ucapan terimakasih. Tapi buatku, itu sebuah kejadian manis yang mengawali pagiku hari itu.

Saat itulah aku mulai khawatir. Kadang aku ingin percaya begitu banyak hal sampai-sampai aku tidak ingat apa yang sesungguhnya terjadi. Jujur saja kejadian pagi itu seperti sebuah misteri buatku. Kejadian aku mempersilahkan perempuan itu menaiki taksi yang aku panggil itu betul terjadi. Tapi apakah dia betul-betul menoleh ke kaca belakang dan melambaikan tangan? Aku tidak akan pernah tahu. Mungkin saja kejadian itu cuma rekayasaku yang ingin mengalami kejadian manis saat berangkat pagi itu. Mendadak aku mulai khawatir dengan kejadian-kejadian lain yang terjadi sebelum hari itu. Apakah semuanya benar-benar terjadi, atau hanya rekayasa dalam kepalaku saja?

*

Namun, persis seperti mimpiku semalam, keberuntungan mempertemukanku denganmu siang hari itu. Ketika aku harus ke mall pada jam makan siang untuk berbelanja. Persis seperti mimpiku semalam, kita berjumpa. Aku melihatmu dari kejauhan dan mencakar lenganku. Tidak, kali ini aku tidak sedang bermimpi. Lila. Kamu memanggil namaku.

Kamu menghampiriku dan kita berbincang basa-basi seperti kebanyakan awal perjumpaan kita. Tapi ketika kamu mengajakku makan siang dengan alasan kita sudah lama tidak berjumpa, aku mulai bertanya-tanya, kalau ini bukan mimpi, apakah ini rekayasaku sendiri?

Aku menyetujui untuk ikut denganmu makan siang, dan selama kita bercakap-cakap, entah mana yang paling membuatku resah saat itu, rasa penasaran atau rindu. Tapi percakapan kita berlanjut menjadi lebih serius ketika kamu mulai terdiam, ketika dengan suara perlahan kamu mulai bercerita, semalam kamu bermimpi mengatakan kepadaku bahwa kamu rindu. Begitu rindu sampai kamu berani mengajakku pulang dan bermalam di rumahmu. Tapi kemudian kamu terbangun sebelum aku menjawab. Dan persis seperti mimpiku semalam, aku terdiam lama dan kehilangan kata-kata. Sampai aku mengakui bahwa aku memimpikan hal yang sama dan pernyataanku itu memberanikanmu untuk mengatakan bahwa kamu menginginkanku sejak pertama kali kita jumpa. Kamu tidak pernah bisa bilang bahwa itu cinta dan kamu mengakui bahwa keinginanmu itu belum punya nama. Kamu tidak mengajakku bermalam di rumahmu tapi kamu bertanya, apakah aku punya perasaan yang sama?

Dan persis seperti mimpiku semalam, aku terdiam untuk tiga buah alasan yang menakutkan.

*

Aku pulang ke rumah sore itu dengan perasaan tidak menentu. Karena kejadian siang itu aku nantikan hampir sepanjang aku mengenalmu. Lila. Suamiku menyambutku. Dan dengan perasaan bersalah aku mengecupnya, kemudian bergegas masuk.

Sembari makan malam, aku mendengarkan suamiku bercerita mengenai harinya. Semua berjalan seperti biasa, sampai ia bercerita tentang mimpinya semalam. Aku berhenti menyuapkan nasi dan segera meraih gelas, aku mulai merasakan otot tubuhku menegang. Ia bercerita bahwa dalam mimpinya aku berjumpa dengan seseorang yang mengajakku bermalam bersamanya. Namun mimpi itu terputus sebelum ia tahu apa jawabanku dan detik itu juga aku tersedak oleh air putih yang tengah kuminum. Sadar bahwa kali ini aku tidak boleh terdiam lama, karena itu berarti aku mengakui kebenaran mimpinya. Aku berusaha keras memutar otak untuk menanggapi ceritanya. Hening sesaat. Lila, panggilnya sambil menantiku menjawab. Tapi aku terdiam ketakutan. Ia menenangkanku da berkata bahwa itu cuma mimpi. Ia hanya bertanya-tanya apakah aku mungkin mengkhianatinya?

Saat itu aku tidak habis pikir. Mungkinkah sebuah mimpi itu menjadi nyata, jika semua orang yang terlibat memimpikan hal yang sama? Mungkinkah sesuatu bisa benar terjadi, walau cuma dalam mimpi? Karena jika iya, artinya aku berhutang jawaban  kepada tiga orang. Dia, suamiku dan diriku sendiri.  

Jakarta, 2009

Kepalaku dan Bola Matanya

Kamar mandi, 15.35

Tes. Tes. Tes. Suara konstan air yang menetes dari keran rusak itu mengganggu sekali. Sudah berapa bulan keran itu lupa dibetulkan. Fasilitas di kantor ini tampak terbengkalai. Seperti perasaanku sekarang. Yang lebih mengganguku lagi adalah aku tidak bisa menyalahkan siapapun. Siapa suruh berdiam diri lama di kamar mandi? Duduk jongkok di lantai dan menghisap rokok. Tapi ini satu-satunya ruang pelarianku di sini. Sebuah ruangan berukuran satu setengah kali dua yang dipagari dinding warna kuning kusam dengan Poster Pulp Fiction yang gagal membuat ruangan ini tampak lebih menyenangkan. Tapi memang bukan itu tujuannya aku rasa. Cuma pemilihan dekorasi tipikal sebuah Production House saja. Mendadak aku teringat anjingku di rumah yang aku beri nama Uma. Aku merindukannya.

Aku menghisap rokokku dalam-dalam sembari menengadahkan kepala dan menatap langit-langit kamar mandi. Tiba-tiba aku terkejut melihat sebagian isi kepalaku di atas sana. Aku langsung berdiri dan melihat dinding sekeliling kamar mandi ini sudah dipenuhi oleh muntahan isi kepalaku. Termasuk poster Pulp Fiction itu.

Sial. Ini bukan pertama kalinya kepalaku meledak. Tapi herannya aku tidak pernah menyadari setiap kali itu terjadi. Dulu kepalaku pernah meledak di ruang rapat juga. Muntahannya bermuncratan dimana-mana. Tapi tidak ada seorangpun yang terganggu ketika isi kepalaku menghantam meja dan kertas-kertas yang berserakan di sana. Bahkan ketika sebagian yang lainnya menghantam muka mereka. Tidak ada seorangpun yang berkomentar. Seolah-olah tidak ada kepala yang baru saja meledak. Bau busuk dari isi kepalaku menusuk hidung, tapi ketidakpekaan orang-orang di ruang rapat itu yang membuat aku lebih muak lagi.

Kini kejadian yang sama terjadi lagi. Aku mematut diri depan kaca sebentar. Aku merapihkan sisa rambut yang masih ada di kepalaku. Aku harus menyelesaikan hari ini dengan sebuah kepala bocor lagi.

*

Ruang Kepala Perusahaan, 15.35

Aku lelah dan bosan. Aku mengepalai sebuah perusahaan yang berarti aku bertanggung jawab atas sekian banyak karyawan. Hidup mereka bergantung padaku sementara hidupku adalah tanggungjawabku sendiri. Aku muak bekerja dan terperangkap di ruangan ini. Padahal kubik ini sudah aku dekorasi sesuai dengan tigkat kenyaman yang aku butuhkan namun sepertinya pikirankulah yang lebih perlu ditata.

Masalah setiap hari seperti tidak ada habisnya. Entah apakah kerja keras ini sepadan dengan penghasilan perusahaan ini setiap bulannya. Aku sudah seharian mondar-mandir rapat kesana kemari. Tapi tidak ada seorangpun yang menyadari, bahwa bola mataku copot tadi pagi. Ketika aku menutup telpon dari seorang klien yang mengatakan bahwa ia akan membatalkan produksi apabila harga yang kuajukan dulu, tidak aku turunkan. Padahal produksi ini sudah seperempat jalan. Padahal waktu tadi pagi baru menunjukan pukul delapan. Sungguh tidak manusiawi, melancarkan sebuah ancaman ketika waktu masih terlalu pagi. Aku membanting telpon dan mataku copot. Bola mataku mental ke tembok. Sekarang sudah enam jam aku di kantor ini dan belum ada satupun karyawanku yang menyadari. Padahal mereka bolak-balik keluar masuk ruanganku untuk menyampaikan pesan dan meminta tandatanganku. Tapi mereka tidak memperhatikan bahwa hari itu aku tanpa mata. Mereka tidak melihat kedua bola mataku tertancap di tembok seberang sana. Tidak ada yang peka.

Jakarta, 2004

Pesawat Kertas


Cerita ini bermula dari sebuah ruangan kantor yang hanya dihuni tiga orang pegawai, seorang gadis dan dua orang pemuda. Sekilas, kehidupan mereka tampak membosankan karena mereka selalu tampak mengerjakan hal yang sama setiap harinya. Yang terdengar sepanjang hari hanyalah suara jari mengetik dan telepon berdering, karena selebihnya mereka diminta untuk bekerja dengan tenang tanpa suara.

Karena bosan (tentunya), gadis yang dibesarkan oleh film-film Bruce Lee favorite ayahnya dan les karate yang ia pilih waktu menginjak sekolah dasar ketika sang ibu membujuknya untuk memilih sebuah kursus di luar jam sekolah, memutuskan kepribadiannya cukup menarik untuk dikenal kedua teman seruangannya.

Demi memecahkan keheningan, gadis itu iseng melemparkan sebuah pesan melalui pesawat kertas ke meja temannya yang berbunyi:

“Aku selalu ingin bisa menghentikan waktu. Kalau bisa punya kemampuan, kalian ingin bisa apa?”

Pemuda di sebelahnya membutuhkan waktu beberapa lama untuk mencerna maksud pesannya. Bingung dan tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu dari seseorang yang tidak pernah dia ajak bicara sebelumnya, namun akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pesan gadis itu dengan kalimat:

“Aku ingin punya ladang ganja”

Dan tanpa berpikir lebih panjang lagi mengenai reaksi mereka yang akan membaca pesannya, ia menerbangkan pesan itu ke meja pemuda di sebelahnya. Pemuda yang satunya baru membaca pesan itu beberapa menit setelah pesawat kertas itu mendarat. Setelah terlihat keheranan, ia terlihat menulis dan menerbangkan pesawat kertas itu kembali ke meja gadis itu:

“Aku tidak tahu apakah ini bisa disebut sebagai kemampuan, tapi aku ingin   bisa menciptakan pil yang bisa mengobati patah hati”

Gadis itu tertawa geli dalam hati, senang melihat bahwa rekan kerjanya selama ini imajinatif dan senang karena keheningan bisa terpecahkan walau dialognya dilakukan lewat sebuah pesawat kertas. Iapun kembali menulis:

“Kalau begitu, mari kita mulai bekerja. Kini kita dapat bersenang-senang tanpa membuang-buang waktu lagi. Kamu tanam pohon ganja sebanyak yang kamu mau dan selama itu, aku akan menghentikan waktu.”

Pria di sebelahnya tertawa setelah membaca dan meneruskan khayalan itu agar tidak buntu dengan menulis:

“Sekarang aku sudah memiliki sepuluh hektar ladang ganja berkat kemampuanmu. Kepada siapa saja ya kita bisa membagikan keceriaan?”

Pria di sebelahnya kini langsung menangkap pesawat kertas itu sebelum sempat mendarat di mejanya dan melanjutkannya dengan bertanya:

”Kepada semua orang yang patah hati?”

Gadis itu tampak tidak sabar ketika menerima pesawat kertas itu kembali. Ia segera membuka lipatannya dan mulai membaca. Setelah berpikir cukup lama sambil mengulum ujung pensilnya, ia menulis:

”Tapi khan tidak ada yang perlu patah hati lagi, karena semuanya bisa diatasi oleh pil patah hati.”

Pria di sebelahnya mengangguk-angguk tanda setuju ketika membaca pesan itu dan menulis:

”Kalau begitu sekarang kita menghisap ganja dan bercinta dengan siapa saja”

Pria penemu pil patah hati merasa belum banyak menyumbangkan ide atas keceriaan yang sedang tengah dihidupkan oleh teman-temannya, berpikir keras dan menulis:

”Biar semua orang bebas bercinta dengan siapapun, aku akan membagikan pilku tanpa ampun”

Gadis itu tertawa dan menyandarkan diri ke bangkunya. Ia menutup mata dan seketika mereka bertiga sudah berada di tengah sepuluh hektar ladang ganja. Bahagia tertawa dengan banyak orang lainnya juga. Mereka bercinta bertiga, bergantian dan  bertukar pasangan dengan orang lain yang sedang bersantai sambil menghisap ganja. Mereka bersandar di bawah pohon dan matahari yang bersinar hangat. Mereka seperti sedang merayakan hari dimana mereka merasa begitu bebas. Di bawah langit merah muda yang dipenuhi oleh pesawat-pesawat kertas berterbangan. Mereka dan orang lain yang ada di sana bahagia menyadari bahwa umur mereka tidak akan bertambah tua dan mereka dapat melakukan ini setiap saat, gadis itu hanya perlu menghentikan waktu, temannya hanya perlu memetik daun ganja yang tumbuh subur di ladangnya dan teman yang satunya tinggal membagikan pil patah hatinya, dan mereka akan hidup bahagia. Dari kejauhan, tempat itu seperti surga.

Sampai tiba-tiba cahaya matahari meredup. Matahari mulai terbenam dan warnanya berubah menjadi senja. Mereka bingung dan bertanya-tanya, bagaimana mungkin ada pergantian hari bila waktu berhenti? Semua orang berpaling menatap tiga pegawai itu yang sedang terlihat kebingungan. Tiba-tiba ketiganya terhenyak dan terbangun di bangku kerja mereka masing-masing. Waktu sudah menunjukkan pukul enam petang. Saatnya pulang. 

Jakarta, 2004