Rabu, 23 Desember 2009

Beruang Putih



Beruang putih itu sedang tidur terlentang di tengah danau yang sudah membeku oleh musim dingin yang sepertinya tidak akan berakhir. Bosan. Tiga bulan yang lalu rasanya ia mau mati kebingungan karena tidak ada yang bisa dikerjakan. Usaha mencari ikan sudah pupus oleh lapisan es yang semakin hari semakin tebal berlapis. Hingga sekarang ia terbiasa untuk hanya makan salju saja.
Sebelum musim dingin ini tiba, ia masih bisa bergaul dengan para peneliti dan pekerja dokumentar yang kerap datang untuk menyelamatkan populasinya yang hampir punah. Mereka datang bergerombol dengan segudang peralatan dan menetap cukup lama hingga akhirnya mereka bisa berkawan dengannya, satu-satunya beruang putih yang tersisa di sana.
Karena danau beku itu tidak memiliki sarana listrik, mereka membawa sebuah genset kecil untuk mengaktifkan peralatan elektronik mereka. Biasanya si beruang putih tidak sabar untuk bisa segera mengamati mereka berbicara lewat sebuah kotak persegi yang memiliki kabel melingkar di ujungnya. Ia senang berpose untuk mereka agar mereka bisa membawa dokumentasi mengenainya pulang dan memulai kampanye pelestarian beruang putih. Ia pasti seperti superstar di dunia para pekerja dokumentar ini.
Tapi sampai sekarang ia tidak pernah tahu. Apa kelanjutan dari usaha pelestarian itu. Yang pasti tak ada lagi pemburu masuk ke kawasannya. Yang akhirnya juga menciptakan rasa sepi dan hampa. Mungkin para pekerja dokumenter itu sudah menemukan binatang lain yang hampir punah dan kembali menciptakan harapan sesaat bagi binatang-binatang itu. Kasihan mereka, pikirnya sambil meraup salju. Dinginnya salju membuat mulutnya ngilu dan hatinya pilu.
Hari-hari yang ia habiskan berlalu tanpa ada hal baru. Si beruang putih mulai kehilangan nalurinya akan waktu. Apakah sesungguhnya ia bertambah umur setiap hari atau ia sudah mati? Lelah dengan keadaannya, si beruang putih berencana untuk mengakhiri segalanya. Andai saja ia dulu tertangkap dan mati tertembak oleh salah satu pemburu, ia tidak akan begini kesepian dan yang jelas, ia tidak akan mulai makan salju. Mulai sekarang, ia menganggap waktu berjalan mundur. Hidup tanpa seorang temanpun membuatnya merasa berkuasa untuk merubah keseluruhan alur. Jika waktu berjalan mundur, waktu akan mempertemukannya kembali dengan bidikan senapan para pemburu itu. Ia hanya perlu menunggu sambil terlentang di tengah danau beku. Menanti hari dimana para pemburu itu pernah datang dan merelakan mereka berkuasa untuk menentukan sebuah akhir cerita yang berbeda, sebuah akhir penuh pengharapan. Hari dimana ia punah dan tidak lagi kesepian.

Jakarta, 2008

Selasa, 01 Desember 2009

Gadis Dalam Air


Minggu, 20 November 2005, 22:03

Bukan kematian yang mengundang para wartawan berdatangan tengah malam itu. Tapi alasan penyebab tenggelamnnya seorang gadis di dalam sebuah mobil sedan. Mobil tersebut ditemukan lima jam setelah waktu kematian, oleh seorang satpam yang sedang mencari asal air yang menggenangi dan membuat becek pelataran parkir lantai tiga gedung tersebut setelah dua jam sebelumnya, mengira bahwa penyebabnya hanyalah pipa bocor. Setelah menemukan sebuah mobil sedan yang dipenuhi air dan seorang gadis yang tergenang tenggelam di dalamnya, ia segera menelpon pihak yang berwajib. Pihak kepolisian datang disusul oleh sekawanan wartawan yang mati penasaran. Hujan tidak mungkin turun di dalam sebuah mobil sedan… Lalu apa gerangan?

Minggu, 20 November 2005, 16:56

Perempuan itu berjalan menuju mobilnya. Seluruh pelataran parkir lantai tiga yang sepi itu masih diterangi matahari senja yang mulai malas,. Suara sepatu haknya beradu dengan aspal dan tangannya sibuk mencari kunci mobil dalam tasnya. Suara langkah kakinya berhenti, disambut oleh suara alarm mobil yang menggema dan suara pintu ditutup.

Ia kembali sibuk mencari tas make-upnya hingga berhasil menemukan eye liner dan lipstik yang ia cari. Ia mulai memulas matanya dengan eye liner hitam dan bibirnya dengan liptik merah ketika air mata pertama itu turun mengaliri pipinya. Ia kemudian meraih notes dan pensil mekanik dari dalam tasnya dan mulai menulis. Sampai air matanya membasahi buku notes itu. Sampai ia berhenti menulis dan mulai menangis. Menangis sejadi-jadinya seolah ia belum pernah menangis sebelumnya. Ia menangis dan menangis karena kali ini, ia tidak perlu lagi berhenti. Kesedihannya sudah menumpuk hingga hatinya tak sanggup menampung apapun lagi dan air matanya perlahan tumpah membasahi pahanya. Ia mulai meraung bersamaan dengan suara-suara yang selama ini membisingi pikirannya. Suara-suara yang tidak ingin ia dengar selama ini karena ia berusaha untuk bisa selalu mengontrol diri. Sampai akhirnya kini, ia tidak bisa membedakan lagi mana yang logika dan suara hati, sampai semuanya berteriak dan bersuara, beradu sementara ia berurai air mata akibat sedih yang menyesakkan dan juga perasaan lega. Sebab kini, ia tidak perlu lagi memilih lagi antara logika dan suara hatinya. Sebab sore ini, ia memutuskan untuk mengadu mereka. Karena ia tahu bahwa ia tidak akan perlu memilih lagi pada akhirnya. Ia hanya menangis karena baru sekarang ia punya keberanian untuk mendengarkan mereka.

Segala perasaan cinta dan rasa bersalah kini menuntut dia untuk mengakui keberadaan mereka. Dan siang ini, ia mengakui mereka dengan air matanya... Sampai mobil itu mulai dipenuhi air matanya. Tapi ia tidak bisa berhenti terisak sambil memeluk setir mobil. Air matanya mulai membanjiri mobil sedannya, gelembung-gelembung air meletup keluar dari mulut gadis itu yang refleks mencari udara, namun tidak kunjung berusaha untuk membuka pintu dan menyelamatkan diri dari air matanya sendiri.

Sampai panik yang menyergapnya sesaat itu lenyap, dan gadis itu mulai menenangkan diri dengan menutup mata. Badannya mulai ringan terayun dan tenggelam dalam air matanya. Riak-riak airpun menjelma menjadi bidadari ketika ia menemukan kedamaian yang ia cari, yang ia dapatkan justru dengan menutup pintu terhadap dunia, dan melarikan diri dari semuanya.

*

Waktu mulai senja ketika perempuan itu tergenang dalam mobil sedannya. Matanya tertutup dan ia tenggelam dalam air matanya. Cantik dan tenang. Seperti yang ia rencanakan. Ditemani cahaya senja yang menerpa.
Menunggu untuk ditemukan...

Jakarta, 2008